ABSTRAK
Megawati. Stereotip Perempuan Bugis dalam Simbol Uang Panai’ Pernikahan Masyarakat Jampue Kecamatan Lanrisang
Kabupaten Pinrang
Uang panai' dalam tradisi
Bugis Jampue merupakan sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai laki-laki
kepada calon mempelai perempuan sebagai syarat sahnya
peminangan menurut adat serta sebagai sebuah penghargaan dan realitas
penghormatan terhadap norma dan strata sosial.
Penelitian
ini menggunakan penelitian
kualitatif dengan paradigma konstruktivisme dan teknik pengumpulan data
berdasarkan pedoman wawancara mendalam,
observasi partisipan dan non partisipan, serta
dokumentasi. Sumber data penulis ada dua yaitu data primer dan data sekunder
berupa opini, catatan dan dokumen (arsip) masyarakat Jampue Kecamatan Lanrisang Kabupaten Pinrang. Adapun
tekhnik analisis datanya yaitu induktif.
Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa tata cara pernikahan suku Bugis Jampue kecamatan Lanrisang kabupaten
Pinrang diatur sesuai dengan adat, tradisi
dan agama sehingga merupakan rangkaian acara yang menarik, penuh tatakrama dan sopan santun serta saling
menghargai. Pengaturan atau tatacara diatur mulai dari tahapan Makkita-kita, mammanu’-manu’, madduta, mappettu
ada, mappisseng, mattale undangang, mappasang pesta, maddamme, mappasili, mapacci, mappenre botting, madduppa
botting, tudang/resepsi, mapparola, mammatua, mabbarazanji pelaksanaan
adat pernikahan keseluruhannya mengandung arti dan makna. Artinya prosesi yang panjang
membutuhkan biaya pernikahan yang tinggi sehingga faktor inilah yang sangat
mendorong besaran biaya atau uang panai’
tinggi. Melalui proses tersebut terdapat proses yang spesifik membicarakn uang panai’ yang disebut proses mappattu ada. Simbol uang panai’ pada masyarakat Bugis itu sendiri adalah sebagai lambang
kehormatan. Uang panai’ memberikan
dampak sosial yang positif dan negatif. Adanya stereotip atau pelabelan dari
suku lain yang menetap di Jampue bahwa permintaan uang panai’ yang
tinggi sangat memberatkan, dan mereka melabelkan bahwa perempuan suku Bugis itu mahal dan tidak
ada yang bisa diandalkan, pernikahan suku Bugis Jampue ada tawar menawar dan dalam upacara pernikahannya
mereka kerap kali meminta dan mematok harga yang tinggi untuk anak perempuannya
sehingga melahirkan
persepsi dan stereotip oleh sebagian orang di luar suku Bugis sebagai perilaku
“menjual anak perempuan”, tetapi adapula yang mengatakan kalau
uang panai’ itu
sangat penting dan sangat diperlukan karena sebagai adat
yang sudah menjadi tradisi yang harus dijunjung tinggi, uang panai’ juga digunakan
sebagai biaya pesta pernikahan mempelai perempuan.
Kata Kunci: Stereotip Perempuan Bugis dalam Simbol Uang Panai’ Pernikahan.
MEGAWATI,
Lahir pada tanggal 08 November 1994 di Jampue Pinrang, Sulawesi Selatan. Anak
ke tiga dari tiga bersaudara atau anak bungsu dari pasangan Muchlis Taba dan
Hadra Renreng. Penulis mulai menempuh pendidikannya di TK DDI Jampue, MI DDI
Jampue, selesai tahun 2007. Dilanjutkan di SMP Perguruan Islam Datumuseng
Makassar selesai pada tahun 2010. Dan dilanjutkan lagi ke jenjang SMK Negeri 1
Pinrang dan tamat pada tahun 2013. Kemudian penulis melanjutkan kuliah di STAIN
Parepare pada jurusan Dakwah dan Komunikasi Program Studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam pada tahun 2013.
Penulis
melaksanakan praktek pengalaman lapangan (PPL) di PT. Fajar Televisi Makassar
dan melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di desa Bola Bulu Kecamatan Pitu
Riase Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan.
Adapun
organisasi yang sempat digeluti selama sekolah sampai kuliah di STAIN Parepare
yaitu: Pramuka, HMJ Dakwah dan Komunikasi, GP Fatayat NU, dan Komando Resimen
Mahasiswa Satuan 709 (MENWA) Parepare. Penulis menyelesaikan studinya di
(STAIN) Parepare dengan judul skripsi: Stereotip Perempuan Bugis dalam Simbol Uang Panai’ Pernikahan Masyarakat Jampue
Kecamatan Lanrisang Kabupaten Pinrang.